Cari Blog Ini

Selasa, 28 Januari 2014

PEMIKIRAN FILSUF MUSLIM DI BARAT: IBNU RUSYD

PEMIKIRAN FILSUF MUSLIM DI BARAT: IBNU RUSYD
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradaban Islam
Tahun Akademik 2012/2013

Oleh:
Nurhalimah                  (10090110026 )
Tiara Mardiana            (10090110028 )
Ajeng Kartika Nur A (100901100     )
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2013


PEMIKIRAN FILSUF MUSLIM DI BARAT : IBNU RUSYD
I.  PENDAHULUAN
            Peradaban Islam merupakan perkembangan umat muslim baik dalam hal seni, budaya, dan ilmu pengetahuan. Salah satu bagian dari peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan adalah munculnya pemikiran-pemikiran dari para filsuf muslim di berbagai belahan dunia yang mempengaruhi perkembangan dunia hingga masa modern ini.
Pemikiran filsuf muslim di sebaran Timur Tengah banyak menjadi sorotan bagi umat muslim dunia saat ini. Namun, pemikiran-pemikiran Islam yang muncul di belahan dunia lainnya juga menjadi perhatian bagi umat muslim dunia.  Pemikiran Islam modern di barat merupakan salah satu bagian dari Peradaban Islam yang sangat mempengaruhi perkembangan dunia. Banyak hasil pemikiran para filsuf muslim di Barat yang masih digunakan hingga saat ini. Salah satu hasil pemikiran filsuf muslim di barat adalah pemikiran dalam bidang hukum. Filsuf muslim yang paling berperan dan paling dikenal dalam hal ini adalah Ibnu Rusyd.

II.  BIOGRAFI  DAN KARYA IBNU RUSYD
Biografi
            Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhamad Ibn Ahmad Ibn Muhamad Ibn Rusyd, di Barat di dalam Literatur Latin Abad Tengah Akhir ia dikenal dengan nama Averroes.  Ia dilahirkan di Cordova pada 520 H (1126 M) dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fiqih di Spanyol-Islam. Kakeknya dari pihak ayah pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia, disamping kedudukannya sebagai seorang ahli hukum terkemuka dalam mazhab Maliki, salah satu Mazhab yang sangat dominan dalam wilayah Maghribi dan Andalusia. Selain itu, kakeknya juga aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Ibn Rusyd mempelajari Ilmu fiqih dari ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih muda Ibn Rusyd telah hafal Kitab Muwaththa’ karangan Imam Malik. Disamping itu ia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan Ibn Jarbun Al-Balansi, sedangkan logika, filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibn Thufail. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan. Ia juga mempelajari sastra arab, matematika, fisika, dan ilmu ekonomi. Ia dipandang sebagai filsuf yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya (700-1200 M). Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran latin dari tahun 1200-1650 M.
Sebutan Averroes untuk Ibn Rusyd, menurut Sirajuddin Zar, sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averroes. Dari Averroes ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.

Pada tahun 1153 M Ibn Rusyd pindah ke Maroko memenuhi permuntaan khalifah Abd Al-Mukmin, khalifah pertama dari Dinasti Muwahhidin, khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan,ia meminta Ibn Rusyd untuk membantunya mengelola lembaga-lembaga tersebut.
Pada tahun 1169 M risalah pokok tentang medis, al-risalah, telah diselesaikannya, dan pada tahun yang sama pula ia dipernalkan oleh Ibn Thufail kepda Khalifah Abu Ya’qub. Hasil dari pertemuan ini Ibn Rusyd diangkat sebagai qadhi di Saville. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Diriwayatkan bahwa Ibn Rusyd hanya dua malam melewatkan begitu saja tanpa membaca dan menulis, yaitu malam meninggal ayahnya dan malam perkawinannya. Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Rusyd tidak gemar menghadiri tempat-tempat hiburan dan menyaksikan tari-tarian, sehingga ia lebih disegani dan dihormati. Semenjak itu pula, ia mulai menafsirkan karya-karya Aristoteles atas permintaan khalifah tersebut. keberhasilannya menafsirkan karya-karya Aristoteles ini menjadikan ia terkenal dengan gelar “Komentator Aristoteles”.
Dua tahun setelah menjadi qadhi di Saville, ia kembali ke Cordova menduduki jabatan Hakim Agung (qadhi al-qudhat). Selanjutnya pada tahun 1182 M ia bertugas sebagai dokter khalifah di Istana A-Muwahhidin, Maroko menggantikan Ibn Thufail.
Pada tahun 1195 M, keadaan berubah akibat pengaruh politik. Sultan Abu Yusuf memerlukan dukungan ulama dan Fuqaha untuk menghadapi peperangan menghadapi kaum kristen. Karena itu, Sultan menangkap dan mengasingkan Ibn Rusyd ke tempat bernama Lucena yang terletak sekitar 50 km di arah tenggara Cordova, guna mendapatkan simpati dan bantuan dari para ulama dan fuqaha dalam peperangan tersebut. pengasingan itu sendiri dilakukan berdasarkan tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibn Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua bukunya dibakar terutama buku-buku filsafat kecuali buku-buku kedokteran, astronomi, dan matematika.
Atas jasa baik pemuka Kota Saville yang menghadap khalifah untuk membujuknya membebaskan Ibn Rusyd, akhirnya ia dibebaskan. Kemudian ia kembalu ke Maraques, Maroko, tetapi tidak lama setelah itu ia wafat di kota ini pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M) dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikuburkan di pekuburan keluarganya. Ahli tasawuf terkenal, Muhyi Al-Din Ibn Arabi (1165-1240 M) mengahdiri pemakamannya kembali. Konon waktu pemindahan jenazahnya diangkut 2 ekor keledai, seekor keledai membaawa jenazah, dan seekor lagi membawa tumpukan kitab-kitab dan sejumlah karyanya.
Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam semesta.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Karya-karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd menulis dalam banyak bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Sebenarnya karyanya yang paling besar berpengaruh di Barat, yang dikenal dengan Averroesm adalah komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam  bidang filsafat, juga dalam bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemahannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah:
a. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mustashid fi al-Fiqh.
b. Kitab al-Kulliyat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
c. Tahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap Kitab Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas.
d. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
e. Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, mencoba mempertemukan agama dengan filsafat.
f. Dhamimah li Masalah al-Qadim.

III.  FILSAFAT IBNU RUSYD DAN PEMIKIRAN AL- GHAZALI
            Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar, karena ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih (Komentator).
            Aristoteles menurut pendapatnya adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Kadang-kadang manusia salah memahami buku-buku Aristotelas, sebagaimana yang dikutip Ibn Rusyd dari kitab-kitab Al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn Rusyd dalam beberapa hal tidak setuju dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf  ini dalam memahami filsafat Aristoteles. Ibn Rusyd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia. Bahkan perkembangan manusia telah mencapai tingkat yang paling tinggi pada diri Aristoteles. Kekaguman Ibn Rusyd terhadap Aristoteles lebih dari itu, sehingga ia menilai seolah-olah ilham tuhan menghendaki agar Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia yang tertinggi dan adanya kesangggupan untuk mendekati akal universal. Kekaguman ini dapat dilihat dalam bukunya Al-Thabi’ah (fisika) dan pada beberapa tempat dari kitabnya Tahafut al-Tahafut.
            Ibn Rusyd sebagai filsuf besar juga memikir, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka tetapi menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya. Ia mengkritik Al- Farabi, Ibn Sina, Al-Gazali, Ibn Bajjah, dsb. Hal ini tergantung pada materi masalah yang dibahas.
a. Metafisika
            Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal” , dan “Maqqul” . wujud Allah ialah Esa- Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.
            Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles, Plonitus, AL-Farabi, dan Ibn Sina.
            Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lain, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata syar’i sesuai dengan kepercayaan mereka. Golongan Hasywiyah berpendapat bahwa cara mengenal Tuhan adalah melalui sama’ (pendengaran) saja, bukan melalui akal. Mereka berpegang pada lahir kata-kata al-Qur’an tanpa menggunakan ta’wil. Ibn Rusyd menolak jalan pikiran yang demikian. Katanya: Islam mengajak kita untuk memperhatikan alam maujud ini dengan akal pikiran, seperti yang terdapat pada surat Al-Hasyr ayat 2 yang menunjukkan atas wajib menggunaka qiyas syar’i dan qiyas aqli (syllogisme) dan sebagainya.
            Cara menegal Tuhan menurut golongan Tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karean menurut mereka mengenal Tuhan dan Maujud-maujud lainnya adalah melalui jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaaan dan menghadapkan pikiran kepada apa yang dituju. Ibn Rusyd mengatakan bahwa apabila kita terima keterangan tersebut, maka tidak bisa juga diperlakukan untuk umum, sebagaimana manusia yang mempunyai pikiran, bahkan jalan tersebut berlawanan dengan syariat yang menyuruh mempergunakan pikiran.
            Setelah mengemukakan kelemahan-kelemahan bukti golongan-golongan tersebut diatas, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan:
1.      Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehibupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang sangat bijaksana. Semua kejadian dalam alam sangat cocok dengan fitrah manusia, seperti siang, malam, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan anggota tubuh manusia. Tidak mungkin terjadi dan terpelihara semuanya itu tanpa pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya QS. An-Naba’;78:6-7: “Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagia hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?
2.      Dalil ikhtira’(dalil ciptaan) .termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit,dan bumi.segala yang maujud di alam ini adalah diciptakan .ayat suci yang mendukung dalil tersebut,antara lain QS. Hajj;22:73:  “hai manusia, telah dibuat perumpamaan, m aka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu . sesungguhnya segala yang kamu sembah selain allah sama sekali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun,kendatipun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka dapat merembutnya kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
3.      Dalil harkah (gerak) . alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yag abadi. Erakan tersebut menunjukan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan  benda, yaitu tuhan.
            Dalil pertama dan dalil kedua disepakati oleh seua pihaksesuai dengan semua syari’at , karena adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut. seperti surah an-Naba’ ayat 6-16 yang menunjukan tentang persesuaian bahagian-bahagian alam dengan manusia. Demikian juga surat al-A’raf ayat 185 yang menunjukan ahwa alam ini diciptakan. Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga ialah dalil yang pertama kali dicetuskan ole Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri.
            Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd lebih dekat kepda paham Mu’tazilah. Dalam hal ini ia menggunakan prinsip tasybih dan tanzih (penyamaan dan penyucian). Cara pertama digunakan dalam menetapkan beberapa sifat positif (ijabiyyah) kepada Allah, yakni sifat-sifat yang dipandang sebagai kesempurnaan bagi makhluk-makhluk Tuhan. Sedangkan cara kedua ialah dengan mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhluk-Nya dari sisi kekurangan yang terdapat dalam diri makhluk. Seperti sifat ‘ilm, sebagai salah satu sifat positif, diakui sebagai sifat Allah, tetapi bukan sebagaiman sifat ilmu yang ada pada manusia, sifat ini sebagai suatu kesempurnaan, maka pada Allah yang wujud-Nya Maha Sempurna, sifat itu merupakan suatu keharusan bagi-Nya. Namun, sifat ilmu yang ditetapkan pada Allah mestilah dalam wujud yang lebih tinggi, lebih sempurna secara mutlak dari sifat ilmu manusia yang relatif. Ilmu Allah menyangkal segala sesuatu, dan tidak suatupun terjadi tanpa diketahui-Nya.
            Mengenai hubungan zat dengan sifat Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah sebagai ‘itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap zat Allah sebagi yang digariskan dalam syara’. Tidak perlu dijelaskan secara filosofis seperti dipahami Mu’tazillah atau seperti yang dipahami oleh Asy’ariyah bahwa sifat berbeda dengan zat karena penafsiran semacam Asy’ariyah ini hanya dapat dibenarkan pada alam manusia atau benda.
b. Tanggapan Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali
            Melalui buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filsuf) al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut menurut Al-Ghazali dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan yang dimaksud adalah: Pertama, qadimnya alam. Kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Ketiga, adanya pembangkitan jasmani.
Pendapat Filsuf tentang Qadimnya Alam
            Pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu  dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
            Ibn Rusyd, begitu pula para filsuf lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada (al-‘Adam) atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada (al-Wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” berubah menjadi  “ada” dalam bentuk lain.
            Pernyataan bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syariat yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diri-Nya dan kemudian barulah dijadikan alam. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan interpretasi kaum teolog.
            Pendapat Ibn Rusyd ini didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada bukan dari tiada, seperti dalam QS.Hud;11:7, yang berarti:
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya diatas air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.
            Ayat ini menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya sebelum langit dan bumi telah diciptakan telah ada air.
            Selanjutnya, Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan dan alam ini memerlukan motive power (tenaga penggerak), namun penafsirannya berbeda dengan penafsiran kaum teolog, menurut Ibn Rusyd penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru menggantikan bentuk lama.
            Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibn Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab terjadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi dengan adanya sebab atau perantara.
            Apabila dicermati, seorang filsuf yang berpegang pada aliran rasional pasti berpendapat bahwa segala sesuatu tidak mungkin lepas dari sebab-musabab. Bahkan, sebab-musabab adalah asas ilmu alam dan asal filsafat rasional. Karean itu mengingkari sebab-sebab yang terbukti dalam segala realitas adalah kebohongan. Jadi orang yang membenarkan sanggahan Al-Ghazali bahwa sebab-akibat bukanlah sebagai kepastian, tetapi sebagai kebiasaan (adat), menurut Ibn Rusyd orang tersebut telah mengingkari hatinya atau mengakui omong-kosong untuk meragukan apa yang ada dihadapannya. Untuk itu, Ibn Rusyd mengembalikan persoalan sebab-musabab kepada 4 sebab pokok (‘illah) sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles, yaitu:
1)      ‘illah maddiyah (material cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan benda)
2)      ‘illah shuwariyyah (formal cause, sebab-musabab yang berkaitan bentuk atau form);
3)      ‘illah fa’illah (efficient cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan daya guna);
4)      ‘illah gha’iyyah (final cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan kejadian).

 Incoherence of the Philosophers dan Incoherence of The Incoherence
Buku Incoherence of the Philosophers berisi sangahan Al Ghazali terhadap teori keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf sebelumnya. Al Ghazali menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf.
Poin pertama: Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada begitu saja.
Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal karena jika dunia tercipta dari ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan adanya ketiadaan pra-adanya dunia dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk membuat alam semesta. Menurut petunjuk Al Quran, Tuhan menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka jadilah ia” (QS Ali Imran ayat 42). Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus menunggu padahal Ia memiliki ke-mahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau.
Menurut Al Farabi: Jika yang menunda tindak pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal tersebut mengurangi ke-mahakuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan begitu, Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta bersifat kekal.
Para filsuf yang disanggah oleh Al Ghazali menganut emanasi Plotinos dimana model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal itu akan berarti bahwa keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih akhir waktunya dari keberadaan Sang Pelaku (Sang Satu).
Sanggahan Al Ghazali:
Menurut Al Ghazali, teori semacam ini tidak koheren. Al Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah merancang sebab-akibat dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata aturannya sendiri dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena kemauannya (iradat) mutlak. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh akal manusia karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transeden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Poin Kedua:
Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari premis-premis Aristoteles, waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan gerakan atau adanya pergerakan. Dalam pengertiannya, “sekarang” merupakan perkelanjutan dari masa lalu yang masih terus bergerak. “Sekarang” merupakan akhir dari masa lalu namun merupakan awal dari masa depan. Maka, tidak mungkin ada “sekarang” yang pertama tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu. Juga tidak ada “sekarang” yang terakhir dengan tidak ada waktu setelah “sekarang” itu. Dengan demikian, tidak ada awal maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu kekal dan waktu merupakan pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan dunia terus bergerak, maka kesimpulannya adalah dunia itu kekal.
Sanggahan Al Ghazali:
Waktu juga diciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya dunia dan waktu dan tanpa keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri.
Poin Ketiga:
Tentang Potensialitas. Alam semesta tidak diciptakan. Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa alam semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin karena sekarang alam semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan bukannya terbatas.
Sanggahan Al Ghazali:
Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu yang tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu tidak akan pernah keluar atau masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang ada itu pasti rusak. Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu waktu. Jika dia ada pada satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga dia tidak akan punah atau rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi) yang dalam argumen seperti itu dapat diterima
Poin Keempat:
Prinsip kelimpahan. Alam semesta sebagai totalitas yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi membutuhkan materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika materi membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang baru pun timbul.
Sanggahan Al Ghazali:
Jika kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu materi, maka akan menjadi mustahillah untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu, katakanlah sebagai contoh, warna sebagai suatu hal yang munkin ketika mereka tidak dikaitkan dengan benda.



Pendapat Filsuf  tentang Pengetahuan Tuhan
            Ibn Rusyd menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang di alami juziyah. Tuhan juga mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat Qadim yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Meskipun demikian, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat qulliyah atau juziyah. Sebab kedua sifat itu merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.
Pendapat Filsuf tentang Kebangkitan Jasmani
            Meskipun Ibn Rusyd berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud ruhani saja, ia tidak menafikan kemungkinan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik dimana ruh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad sebagaimana keadaanya semula di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian. Sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.
c. Averroisme
Averroisme adalah ajaran yang dikemukakan oleh Ibn Rushd dan para pengikutnya, sudah trend di abad Pertengahan.  Ibn Rusyd adalah tokoh Islam yang sangat diakui baik di negara Barat maupun Timur. Sumbangan yang nyata adalah kritik terhadap dominasi Katolik Roma dalam peradaban Eropa.Bagi dia negara berada di bawah dominasi gereja, sehingga cenderung tidak merdeka.Para pendukung ajaran ini mempertahankan bahwa dunia adalah kekal dan jiwa mati, dan menegakkan teori kebenaran ganda.
Pengaruh dan Penolakan Averroisme
Pengaruh Averroisme dirasakan baik oleh filsafat Yahudi maupun Skolastisime. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani, komentar-komentarnya menghasilkan pengikut-pengikut Averroes hingga abad ke 15. Pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin antara 1130 dan 1150, terjemahan-terjemahan tetap muncul pada 1256.
Averroisme ditentang keras oleh gereja dan para pemimpinnya , tampak dalam konsili-konsili Kristen dengan sangat hebat dikecam.Yang ditentang keras oleh gereja adalah ajaran tentang kekekalan materi, tidak adanya kekekalan pribadi, doktrin tentang kebenaran ganda. Tokoh yang mendukung pandangan ini adalah Albertus Magnus, yang tetap mempertahankan komentar-komentar Averroes mengenai Aristoteles, sambil memperlihatkan kesulitan tertentu.
Pengaruhnya sangat besar di Prancis pada abd ke 13 dan menjadi aliran filosofis progresif yang bertentangan denan dgma gereja yang berkuasa. Tokoh lain yang paling masyur adalah Siger dari Brabant. Selanjutnya dirasakan di Itali Utara, bahkan hingga abad 16.

IV. Kesimpulan
            Salah satu hasil pemikiran filsuf muslim di barat adalah pemikiran dalam bidang hukum. Filsuf muslim yang paling berperan dan paling dikenal dalam hal ini adalah Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar