PEMIKIRAN FILSUF MUSLIM DI BARAT: IBNU
RUSYD
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradaban Islam
Tahun Akademik 2012/2013
Oleh:
Nurhalimah (10090110026
)
Tiara Mardiana (10090110028 )
Ajeng Kartika Nur A (100901100 )

PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2013
PEMIKIRAN FILSUF MUSLIM DI BARAT : IBNU
RUSYD
I. PENDAHULUAN
Peradaban
Islam merupakan perkembangan umat muslim baik dalam hal seni, budaya, dan ilmu
pengetahuan. Salah satu bagian dari peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan
adalah munculnya pemikiran-pemikiran dari para filsuf muslim di berbagai
belahan dunia yang mempengaruhi perkembangan dunia hingga masa modern ini.
Pemikiran filsuf muslim di sebaran Timur Tengah
banyak menjadi sorotan bagi umat muslim dunia saat ini. Namun,
pemikiran-pemikiran Islam yang muncul di belahan dunia lainnya juga menjadi
perhatian bagi umat muslim dunia. Pemikiran Islam modern di barat merupakan
salah satu bagian dari Peradaban Islam yang sangat mempengaruhi perkembangan
dunia. Banyak hasil pemikiran para filsuf muslim di Barat yang masih digunakan
hingga saat ini. Salah satu hasil pemikiran filsuf muslim di barat adalah
pemikiran dalam bidang hukum. Filsuf muslim yang paling berperan dan paling
dikenal dalam hal ini adalah Ibnu Rusyd.
II. BIOGRAFI
DAN KARYA IBNU RUSYD
Biografi
Nama lengkapnya
adalah Abu Al-Walid Muhamad Ibn Ahmad Ibn Muhamad Ibn Rusyd, di Barat di dalam
Literatur Latin Abad Tengah Akhir ia dikenal dengan nama Averroes. Ia dilahirkan di
Cordova pada 520 H (1126 M) dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fiqih
di Spanyol-Islam. Kakeknya dari pihak ayah pernah menjadi kepala pengadilan di
Andalusia, disamping kedudukannya sebagai seorang ahli hukum terkemuka dalam
mazhab Maliki, salah satu Mazhab yang sangat dominan dalam wilayah Maghribi dan
Andalusia. Selain itu, kakeknya juga aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Ibn
Rusyd mempelajari Ilmu fiqih dari ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih
muda Ibn Rusyd telah hafal Kitab
Muwaththa’ karangan Imam Malik. Disamping itu ia belajar ilmu kedokteran
kepada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan Ibn Jarbun Al-Balansi, sedangkan logika,
filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibn Thufail. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama yang menerangkan
fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama
akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan. Ia juga
mempelajari sastra arab, matematika, fisika, dan ilmu ekonomi. Ia dipandang
sebagai filsuf yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam
mencapai puncaknya (700-1200 M). Keunggulannya terletak pada kekuatan dan
ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar pada fase-fase
tertentu pemikiran latin dari tahun 1200-1650 M.
Sebutan Averroes
untuk Ibn Rusyd, menurut Sirajuddin Zar, sebenarnya lebih pantas
untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose
Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti
kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd.
Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi
huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averroes. Dari Averroes ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu
Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme.
Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat,
penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat
Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada
yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama
Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran
filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu
Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan
kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat
Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut
terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles
sendiri.
Pada tahun 1153 M Ibn
Rusyd pindah ke Maroko memenuhi permuntaan khalifah Abd Al-Mukmin, khalifah
pertama dari Dinasti Muwahhidin, khalifah ini banyak membangun sekolah dan
lembaga ilmu pengetahuan,ia meminta Ibn Rusyd untuk membantunya mengelola
lembaga-lembaga tersebut.
Pada tahun 1169 M
risalah pokok tentang medis, al-risalah,
telah diselesaikannya, dan pada tahun yang sama pula ia dipernalkan oleh Ibn
Thufail kepda Khalifah Abu Ya’qub. Hasil dari pertemuan ini Ibn Rusyd diangkat
sebagai qadhi di Saville. Ia memanfaatkan
kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Diriwayatkan bahwa Ibn Rusyd hanya
dua malam melewatkan begitu saja tanpa membaca dan menulis, yaitu malam
meninggal ayahnya dan malam perkawinannya. Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Rusyd
tidak gemar menghadiri tempat-tempat hiburan dan menyaksikan tari-tarian,
sehingga ia lebih disegani dan dihormati. Semenjak itu pula, ia mulai
menafsirkan karya-karya Aristoteles atas permintaan khalifah tersebut.
keberhasilannya menafsirkan karya-karya Aristoteles ini menjadikan ia terkenal
dengan gelar “Komentator Aristoteles”.
Dua tahun setelah
menjadi qadhi di Saville, ia kembali ke Cordova menduduki jabatan Hakim Agung (qadhi al-qudhat). Selanjutnya pada tahun
1182 M ia bertugas sebagai dokter khalifah di Istana A-Muwahhidin, Maroko
menggantikan Ibn Thufail.
Pada tahun 1195 M,
keadaan berubah akibat pengaruh politik. Sultan Abu Yusuf memerlukan dukungan
ulama dan Fuqaha untuk menghadapi peperangan menghadapi kaum kristen. Karena
itu, Sultan menangkap dan mengasingkan Ibn Rusyd ke tempat bernama Lucena yang
terletak sekitar 50 km di arah tenggara Cordova, guna mendapatkan simpati dan
bantuan dari para ulama dan fuqaha dalam peperangan tersebut. pengasingan itu
sendiri dilakukan berdasarkan tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibn Rusyd
adalah seorang zindik dan kafir. Semua bukunya dibakar terutama buku-buku
filsafat kecuali buku-buku kedokteran, astronomi, dan matematika.
Atas jasa baik pemuka
Kota Saville yang menghadap khalifah untuk membujuknya membebaskan Ibn Rusyd, akhirnya
ia dibebaskan. Kemudian ia kembalu ke Maraques, Maroko, tetapi tidak lama
setelah itu ia wafat di kota ini pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M) dalam usia 72 tahun menurut
perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.
Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikuburkan
di pekuburan keluarganya. Ahli tasawuf terkenal, Muhyi Al-Din Ibn Arabi
(1165-1240 M) mengahdiri pemakamannya kembali. Konon waktu pemindahan
jenazahnya diangkut 2 ekor keledai, seekor keledai membaawa jenazah, dan seekor
lagi membawa tumpukan kitab-kitab dan sejumlah karyanya.
Sebagai
seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai
problem ketuhanan dan alam semesta. Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan
memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat, terutama di dunia
barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga melahirkan
renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd
mengenai problem ketuhanan dan alam semesta.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd
adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif
terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan
bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk
kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat
kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu
sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan
kepada para wakilnya.
Tidak hanya seorang
ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon.
Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para
pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun
demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri
secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada
umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah
menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya
pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya
berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan
oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam
terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Karya-karya
Ibn Rusyd
Ibn Rusyd menulis dalam
banyak bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan
lain-lain. Sebenarnya karyanya yang paling besar berpengaruh di Barat, yang
dikenal dengan Averroesm adalah komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan
saja dalam bidang filsafat, juga dalam
bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah
tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemahannya dalam bahasa Latin dan
Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah:
a. Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Mustashid fi al-Fiqh.
b. Kitab
al-Kulliyat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
c. Tahafut
al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap Kitab Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah, telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas.
d. Al-Kasyf
‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
e. Fashl
al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, mencoba
mempertemukan agama dengan filsafat.
f. Dhamimah
li Masalah al-Qadim.
III. FILSAFAT IBNU RUSYD DAN PEMIKIRAN AL- GHAZALI
Filsafat
Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar, karena
ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap
karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih (Komentator).
Aristoteles
menurut pendapatnya adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah
mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Kadang-kadang
manusia salah memahami buku-buku Aristotelas, sebagaimana yang dikutip Ibn
Rusyd dari kitab-kitab Al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn Rusyd dalam beberapa hal
tidak setuju dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf ini dalam memahami filsafat Aristoteles. Ibn Rusyd
berkeyakinan jika filsafat Aristoteles dapat dipahami dengan sebaik-baiknya,
pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai
oleh manusia. Bahkan perkembangan manusia telah mencapai tingkat yang paling
tinggi pada diri Aristoteles. Kekaguman Ibn Rusyd terhadap Aristoteles lebih
dari itu, sehingga ia menilai seolah-olah ilham tuhan menghendaki agar
Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia yang tertinggi dan adanya
kesangggupan untuk mendekati akal universal. Kekaguman ini dapat dilihat dalam
bukunya Al-Thabi’ah (fisika) dan pada
beberapa tempat dari kitabnya Tahafut
al-Tahafut.
Ibn
Rusyd sebagai filsuf besar juga memikir, membahas, dan memecahkan
masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak
menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka tetapi menerima yang setuju dan
menolak yang sebaliknya. Ia mengkritik Al- Farabi, Ibn Sina, Al-Gazali, Ibn
Bajjah, dsb. Hal ini tergantung pada materi masalah yang dibahas.
a.
Metafisika
Dalam
masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang
dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal”
, dan “Maqqul” . wujud Allah ialah
Esa- Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.
Konsepsi
Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang
dipeluknya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi
menamakan tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman
Islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles, Plonitus,
AL-Farabi, dan Ibn Sina.
Dalam
pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariah,
dan Falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda
satu sama lain, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata syar’i
sesuai dengan kepercayaan mereka. Golongan Hasywiyah berpendapat bahwa cara
mengenal Tuhan adalah melalui sama’ (pendengaran)
saja, bukan melalui akal. Mereka berpegang pada lahir kata-kata al-Qur’an tanpa
menggunakan ta’wil. Ibn Rusyd menolak
jalan pikiran yang demikian. Katanya: Islam mengajak kita untuk memperhatikan
alam maujud ini dengan akal pikiran, seperti yang terdapat pada surat Al-Hasyr
ayat 2 yang menunjukkan atas wajib menggunaka qiyas syar’i dan qiyas aqli
(syllogisme) dan sebagainya.
Cara
menegal Tuhan menurut golongan Tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun
dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karean menurut mereka mengenal
Tuhan dan Maujud-maujud lainnya adalah melalui jiwa ketika sudah terlepas dari
hambatan-hambatan kebendaaan dan menghadapkan pikiran kepada apa yang dituju.
Ibn Rusyd mengatakan bahwa apabila kita terima keterangan tersebut, maka tidak
bisa juga diperlakukan untuk umum, sebagaimana manusia yang mempunyai pikiran,
bahkan jalan tersebut berlawanan dengan syariat yang menyuruh mempergunakan
pikiran.
Setelah
mengemukakan kelemahan-kelemahan bukti golongan-golongan tersebut diatas, Ibn
Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan:
1. Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharan
Tuhan). Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehibupan
manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan
adanya pencipta yang sangat bijaksana. Semua kejadian dalam alam sangat cocok
dengan fitrah manusia, seperti siang, malam, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan anggota tubuh manusia. Tidak mungkin terjadi dan terpelihara
semuanya itu tanpa pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil
tersebut, diantaranya QS. An-Naba’;78:6-7: “Bukankah
kami telah menjadikan bumi itu sebagia hamparan, dan gunung-gunung sebagai
pasak?”
2. Dalil ikhtira’(dalil ciptaan) .termasuk
dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit,dan
bumi.segala yang maujud di alam ini adalah diciptakan .ayat suci yang mendukung
dalil tersebut,antara lain QS. Hajj;22:73:
“hai manusia, telah dibuat
perumpamaan, m aka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu . sesungguhnya segala
yang kamu sembah selain allah sama sekali tidak dapat menciptakan seekor
lalatpun,kendatipun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka dapat merembutnya kembali dari lalat itu. amat
lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
3. Dalil harkah (gerak) . alam semesta ini
bergerak dengan suatu gerakan yag abadi. Erakan tersebut menunjukan adanya
penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan
benda, yaitu tuhan.
Dalil
pertama dan dalil kedua disepakati oleh seua pihaksesuai dengan semua syari’at
, karena adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut.
seperti surah an-Naba’ ayat 6-16 yang
menunjukan tentang persesuaian bahagian-bahagian alam dengan manusia. Demikian
juga surat al-A’raf ayat 185 yang menunjukan ahwa alam ini diciptakan.
Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga
ialah dalil yang pertama kali dicetuskan ole Aristoteles yang kemudian
dipergunakan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah,
Ibn Rusyd lebih dekat kepda paham Mu’tazilah. Dalam hal ini ia menggunakan
prinsip tasybih dan tanzih (penyamaan dan penyucian). Cara
pertama digunakan dalam menetapkan beberapa sifat positif (ijabiyyah) kepada
Allah, yakni sifat-sifat yang dipandang sebagai kesempurnaan bagi
makhluk-makhluk Tuhan. Sedangkan cara kedua ialah dengan mengakui adanya
perbedaan Allah dengan makhluk-Nya dari sisi kekurangan yang terdapat dalam
diri makhluk. Seperti sifat ‘ilm,
sebagai salah satu sifat positif, diakui sebagai sifat Allah, tetapi bukan
sebagaiman sifat ilmu yang ada pada manusia, sifat ini sebagai suatu
kesempurnaan, maka pada Allah yang wujud-Nya Maha Sempurna, sifat itu merupakan
suatu keharusan bagi-Nya. Namun, sifat ilmu yang ditetapkan pada Allah mestilah
dalam wujud yang lebih tinggi, lebih sempurna secara mutlak dari sifat ilmu
manusia yang relatif. Ilmu Allah menyangkal segala sesuatu, dan tidak suatupun
terjadi tanpa diketahui-Nya.
Mengenai hubungan zat dengan sifat
Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah sebagai ‘itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap zat Allah sebagi
yang digariskan dalam syara’. Tidak
perlu dijelaskan secara filosofis seperti dipahami Mu’tazillah atau seperti
yang dipahami oleh Asy’ariyah bahwa sifat berbeda dengan zat karena penafsiran
semacam Asy’ariyah ini hanya dapat dibenarkan pada alam manusia atau benda.
b. Tanggapan Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali
Melalui buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filsuf) al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari
masalah tersebut menurut Al-Ghazali dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan
yang dimaksud adalah: Pertama, qadimnya alam. Kedua, Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam. Ketiga, adanya pembangkitan jasmani.
Pendapat Filsuf tentang Qadimnya Alam
Pendapat
para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima
kalangan teologi Islam. Menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta.
Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu
dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula
berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan al-Ghazali dalam
kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ibn
Rusyd, begitu pula para filsuf lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio
tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada (al-‘Adam)
atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada (al-Wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Pernyataan
bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syariat yang kuat, disanggah
oleh Ibn Rusyd. Tidak ada yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud
sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diri-Nya dan kemudian barulah
dijadikan alam. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan interpretasi
kaum teolog.
Pendapat
Ibn Rusyd ini didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian
bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada bukan dari tiada,
seperti dalam QS.Hud;11:7, yang berarti:
“Dan Dia-lah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya diatas
air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”
Ayat
ini menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit
dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat
tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan
bumi. Tegasnya sebelum langit dan bumi telah diciptakan telah ada air.
Selanjutnya,
Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan dan alam ini memerlukan motive power (tenaga penggerak), namun
penafsirannya berbeda dengan penafsiran kaum teolog, menurut Ibn Rusyd
penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang
berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru menggantikan bentuk
lama.
Lebih
jauh mengenai keabadian alam, Ibn Rusyd membedakan dua macam keabadian,
keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara
itulah yang menjadi sebab terjadinya alam, seperti abadinya penggerak itu
sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi
dengan adanya sebab atau perantara.
Apabila
dicermati, seorang filsuf yang berpegang pada aliran rasional pasti berpendapat
bahwa segala sesuatu tidak mungkin lepas dari sebab-musabab. Bahkan,
sebab-musabab adalah asas ilmu alam dan asal filsafat rasional. Karean itu
mengingkari sebab-sebab yang terbukti dalam segala realitas adalah kebohongan.
Jadi orang yang membenarkan sanggahan Al-Ghazali bahwa sebab-akibat bukanlah
sebagai kepastian, tetapi sebagai kebiasaan (adat), menurut Ibn Rusyd orang
tersebut telah mengingkari hatinya atau mengakui omong-kosong untuk meragukan
apa yang ada dihadapannya. Untuk itu, Ibn Rusyd mengembalikan persoalan
sebab-musabab kepada 4 sebab pokok (‘illah)
sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles, yaitu:
1) ‘illah maddiyah (material cause,
sebab-musabab yang berkaitan dengan benda)
2) ‘illah shuwariyyah (formal cause,
sebab-musabab yang berkaitan bentuk atau form);
3) ‘illah fa’illah (efficient cause,
sebab-musabab yang berkaitan dengan daya guna);
4) ‘illah gha’iyyah (final cause,
sebab-musabab yang berkaitan dengan kejadian).
Incoherence of the Philosophers dan Incoherence of The Incoherence
Buku Incoherence of the Philosophers berisi
sangahan Al Ghazali terhadap teori keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf
sebelumnya. Al Ghazali menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf.
Poin pertama:
Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada begitu saja.
Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan yang
terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini
tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk keadaan
pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka beberapa
sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah
terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal karena jika dunia
tercipta dari ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan
adanya ketiadaan pra-adanya dunia dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk
membuat alam semesta. Menurut petunjuk Al Quran, Tuhan menciptakan segala
sesuatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka jadilah ia” (QS Ali Imran ayat 42).
Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus menunggu padahal Ia
memiliki ke-mahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau.
Menurut Al Farabi: Jika yang menunda tindak
pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal tersebut
mengurangi ke-mahakuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan begitu,
Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta
bersifat kekal.
Para filsuf yang disanggah oleh Al Ghazali menganut
emanasi Plotinos dimana model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini
terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal itu akan berarti bahwa
keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih akhir waktunya dari
keberadaan Sang Pelaku (Sang Satu).
Sanggahan
Al Ghazali:
Menurut Al Ghazali, teori semacam ini tidak koheren.
Al Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah merancang sebab-akibat
dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata aturannya sendiri
dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena kemauannya (iradat)
mutlak. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun
ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh akal manusia karena
dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transeden, namun kemauan
(iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Poin
Kedua:
Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari premis-premis Aristoteles,
waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan gerakan atau adanya
pergerakan. Dalam pengertiannya, “sekarang” merupakan perkelanjutan dari masa
lalu yang masih terus bergerak. “Sekarang” merupakan akhir dari masa lalu namun
merupakan awal dari masa depan. Maka, tidak mungkin ada “sekarang” yang pertama
tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu. Juga tidak ada “sekarang” yang
terakhir dengan tidak ada waktu setelah “sekarang” itu. Dengan demikian, tidak
ada awal maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu kekal dan waktu merupakan
pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan dunia terus bergerak, maka
kesimpulannya adalah dunia itu kekal.
Sanggahan
Al Ghazali:
Waktu juga diciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu
sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya dunia dan waktu dan tanpa
keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada
waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri.
Poin
Ketiga:
Tentang Potensialitas. Alam semesta tidak diciptakan.
Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa alam
semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin karena sekarang alam
semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan bukannya terbatas.
Sanggahan
Al Ghazali:
Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu
yang tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu tidak
akan pernah keluar atau masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang ada itu
pasti rusak. Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu waktu. Jika dia ada pada
satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga dia tidak akan punah atau
rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi) yang dalam argumen
seperti itu dapat diterima
Poin
Keempat:
Prinsip kelimpahan. Alam semesta sebagai totalitas
yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi membutuhkan
materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika materi
membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang baru
pun timbul.
Sanggahan Al Ghazali:
Jika
kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu materi, maka akan menjadi mustahillah
untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu, katakanlah sebagai contoh, warna
sebagai suatu hal yang munkin ketika mereka tidak dikaitkan dengan benda.
Pendapat Filsuf tentang Pengetahuan Tuhan
Ibn
Rusyd menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya
perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang di alami juziyah. Tuhan juga
mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi.
Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan
akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat Qadim yaitu semenjak azali Tuhan
mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Meskipun
demikian, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat qulliyah atau juziyah.
Sebab kedua sifat itu merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan
Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.
Pendapat Filsuf tentang Kebangkitan Jasmani
Meskipun
Ibn Rusyd berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud ruhani
saja, ia tidak menafikan kemungkinan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun
kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik dimana ruh-ruh akan menyatu
kembali dengan jasad sebagaimana keadaanya semula di dunia, tetapi jasad
tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di
dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian. Sedangkan yang telah hancur
mustahil dapat kembali seperti semula.
c.
Averroisme
Averroisme adalah ajaran yang dikemukakan oleh Ibn
Rushd dan
para pengikutnya, sudah trend di abad Pertengahan. Ibn Rusyd adalah
tokoh Islam yang sangat diakui baik di negara Barat maupun Timur. Sumbangan yang nyata adalah
kritik terhadap dominasi Katolik Roma dalam peradaban Eropa.Bagi dia negara berada di
bawah dominasi gereja, sehingga cenderung tidak
merdeka.Para pendukung ajaran ini mempertahankan bahwa dunia adalah kekal dan
jiwa mati, dan menegakkan teori kebenaran ganda.
Pengaruh dan Penolakan Averroisme
Pengaruh Averroisme dirasakan baik oleh filsafat Yahudi maupun Skolastisime. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani, komentar-komentarnya menghasilkan pengikut-pengikut
Averroes hingga abad ke 15. Pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin antara 1130 dan 1150,
terjemahan-terjemahan tetap muncul pada 1256.
Averroisme ditentang keras oleh gereja dan para pemimpinnya
, tampak dalam konsili-konsili Kristen dengan sangat hebat dikecam.Yang ditentang keras oleh
gereja adalah ajaran tentang kekekalan materi, tidak adanya kekekalan pribadi,
doktrin tentang kebenaran ganda. Tokoh yang mendukung pandangan ini adalah Albertus Magnus, yang tetap mempertahankan komentar-komentar Averroes
mengenai Aristoteles, sambil memperlihatkan kesulitan tertentu.
Pengaruhnya sangat besar di Prancis pada abd ke 13 dan
menjadi aliran filosofis progresif yang bertentangan denan dgma gereja yang
berkuasa. Tokoh lain yang paling masyur adalah Siger
dari Brabant.
Selanjutnya dirasakan di Itali Utara, bahkan hingga abad
16.
IV.
Kesimpulan
Salah
satu hasil pemikiran filsuf muslim di barat adalah pemikiran dalam bidang
hukum. Filsuf muslim yang paling berperan dan paling dikenal dalam hal ini
adalah Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd
adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik.
Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi"
(hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan
komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat
Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas.
Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran
dan masalah hukum.Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan
berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim.
Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri
menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang
penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah
kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang
kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan
kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan
menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
